Saturday, May 25, 2013

Pusat Pembangkit Tenaga Elektrik

Bismillah
Assalamu'alaikum

Imam Syahid Hasan Al Banna memberikan perumpamaan dengan perkataannya;

"Di setiap kota terdapat pusat pembangkit tenaga elektrik. Para pegawai memasang instalasinya di seluruh penjuru kota, memasang tiang dan kabel, setelah itu aliran elektrik masuk ke fabrik-fabrik, rumah-rumah, dan tempat-tempat lain. Jika aliran elektrik tersebut kita matikan dari pusat pembangkitnya, nescaya seluruh penjuru kota akan gelap gelita. Padahal saat itu tenaga elektrik ada dan tersimpan di pusat pembangkit elektrik, hanya saja tenaga elektrik yang ada itu tidak dimanfaatkan."

Al-Qur'an Al-Karim, ia adalah pusat pembangkit "tenaga" bagi kaum muslimin, tetapi sumber kekuatan itu kini dicampakkan oleh kaum muslimin sendiri, sehingga hati mereka menjadi gelap dan tatanan kehidupan pun menjadi rosak.

Tugas kita sebagai da'i adalah seperti tugas para pegawai elektrik, mengalirkan kekuatan ini dan sumbernya ke setiap hati orang-orang muslim agar senantiasa bersinar dan menerangi sekelilingnya. Allah swt. berfirman, "Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu ia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan keadaan orang yang berada dalam gelap gelita yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya?" (Al-An'am: 122)

#Tulisan ini saya petik dari buku Thoriq Ilal Quluub | Syeikh Abbas Hassan as-Siisi


Gambar : Hari terakhir di Masjid Al-Azhar dengan Acu Jawahir 
07 Januari 2012 



Wednesday, May 8, 2013

Nukilan Syeikhut-Tarbiyah Ust Rahmat Abdullah (1953-2005)



Bismillah.
Assalamu’alaikum

“Aku rindu zaman ketika usrah adalah kemestian, bukan sekedar sambilan apalagi hiburan …

Aku rindu zaman ketika membina anak-anak usrah adalah kewajiban bukan pilihan apalagi beban dan paksaan … …

Aku rindu zaman ketika dauroh menjadi kebiasaan, bukan sekedar pelangkap pengisi program yang dipaksakan …

Aku rindu zaman ketika tsiqoh menjadi kekuatan, bukan keraguan apalagi kecurigaan …

Aku rindu zaman ketika tarbiyah adalah pengorbanan, bukan tuntutan, hujatan dan sampingan….

Aku rindu zaman ketika nasihat menjadi kesenangan bukan su’udzon atau menjatuhkan… 

Aku rindu zaman ketika kita semua memberikan segalanya untuk da’wah ini … Aku rindu zaman ketika nasyid ghuroba manjadi lagu kebangsaan…

Aku rindu zaman ketika hadir usrah adalah kerinduan dan terlambat adalah kelalaian …

Aku rindu zaman ketika malam gerimis pergi ke puncak mengisi dauroh dengan wang yang cukup-cukup dan peta yang tak jelas …

Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah benar-benar berjalan kaki 2 jam di malam buta sepulang berda’wah di desa sebelah …

Aku rindu zaman ketika pergi usrah selalu membawa infaq, alat tulis, buku catatan dan qur’an terjemah ditambah sedikit hafalan …

Aku rindu zaman ketika anak usrah menangis karena tak bisa hadir di usrah… Aku rindu zaman ketika tengah malam pintu diketuk untuk mendapat b

erita kumpul di subuh harinya …

Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah berangkat usrah dengan wang belanja esok hari untuk keluarganya …

Aku rindu zaman ketika seorang murobbi sakit dan harus dirawat, anak-anak usrah mengumpulkan dana apa adanya … Aku rindu zaman itu …

Ya Rabb … Jangan Kau buang kenikmatan berda’wah dari hati-hati kami … Ya Rabb … Berikanlah kami keistiqomahan di jalan da’wah ini



Tuesday, May 7, 2013

Bercermin Kepada Khalid Al-Walid

Bismillah.
Assalamu’alaikum

BERCERMIN KEPADA KHALID AL-WALID

“Menjalani perjalanan hidup seharian tidak ubah seperti menyelusuri jalan di pergunungan. Kadang-kadang menurun, suatu saat melonjak melampaui puncak tertinggi. Saat itulah, semua terlihat kecil. Bahkan, puncak gunung pun ada di telapak kaki. Berhati-hatilah, karena di balik gunung ada jurang.”

Pembawa utusan Khalifah Umar Al-Khathab agak hairan dengan reaksi Khalid bin Walid. Selepas membaca surat daripada Khalifah, panglima perang Islam yang tersohor itu berbicara perlahan kepada sang utusan. “Jangan bocorkan isi surat ini kepada sesiapapun.” Dan utusan itu pun setuju.

Itulah pesan Khalid bin Walid sesaat setelah membaca surat perlucutan jawatan panglima perang yang disandangnya. Sama sekali, hal itu bukan kerana dia menolak titah khalifah yang baru dilantik. Bukan pula kerana khuatir kalau popularitinya akan merosot. Ia cuma ingin menjaga agar semangat pasukannya tetap utuh.

Dan kemenangan Perang Yarmuk yang sedang bergolak pun bisa diraih.

Populariti Khalid dalam ketenteraan Islam saat itu, memang nyaris tak tertandingi. Ia memang sempurna di bidangnya: ahli dalam siasat perang, mahir bermain senjata, handal dalam berkuda, dan karismatik di tengah prajuritnya. Benar-benar idola yang ideal buat mujahid Islam di saat itu.

Keputusan Umar mengganti Khalid justru di saat puncak kemahsyuran bukanlah sebagai penghalang. malah, Umar ingin menyelamatkan Khalid dari fanatisme yang berlebihan. Beliau juga khawatir kalau pasukan Islam mengalami penurunan motivasi.

Menariknya, semua itu diterima Khalid dengan berlapang dada. Dalam hitungan detik, dia bisa memahami maksud surat Umar itu. Ia tamatkan perang dengan begitu sempurna. Setelah berjaya, kepemimpinan pun dia serahkan kepada penggantinya: Abu Ubaidah.

Itulah sekitar kisah Khalid bin Walid. Pelajaran berharga buat mereka yang mengalami fitnah populariti. Sekecil apa pun kemasyuran, kalau tidak dibangun dengan asas yang kukuh, akan menjadi bencana besar. Setidaknya, buat kebaikan diri sang tokoh.

Kalau merujuk pada sosok Khalid bin Walid, ada beberapa aspek yang boleh kita contohi.

Pertama, ketokohan Khalid yang datang dari dalam. Bukan sekadar rekaan media, bukan juga tuntutan sepihak. Itulah kelebihan khusus Khalid. Rasulullah saw. dan Khalifah Abu Bakar telah Berjaya mengembangkan kelebihan itu pada saluran yang terbaik.

Kelebihan yang semulajadi itulah yang menjadikan ketokohan Khalid tak dinafikan. Bahkan, oleh musuh sekali pun. Seorang panglima Romawi, Georgius, pernah mengatakan,

“Saya inginkan jawapan jujur daripada anda, Wahai Panglima. Apakah Tuhan menurunkan pedang dari langit kepada Nabi Anda dan pedang itu diserahkan khusus buat Anda?” Tentu saja, pertanyaan itu membuat Khalid bin Walid tersenyum.

Kedua, Khalid tidak obses dengan ketokohannya. Ia tidak menjadikan populariti sebagai tujuan. Itu dianggapnya sebagai bahagian dari buah perjuangan. Hal itulah yang pernah diungkapkan Khalid ketika menjelaskan pergantiannya,

“Saya berjuang untuk kejayaan Islam. Bukan karena Umar!” Jadi, di mana pun posisinya, selama masih mampu ikut berperang, stamina Khalid tetap utuh. Itulah nilai ikhlas yang ingin dipegang seorang sahabat Rasul seperti Khalid bin Walid.

Rasulullah saw. mengatakan, “Siapa memurkakan Allah untuk meraih keridhaan manusia maka Allah murka kepadanya dan menjadikan orang yang mula-mula meridhainya menjadi murka kepadanya. Namun, siapa yang mencari redha Allah meskipun dalam kemurkaan manusia maka Allah akan meridhainya dan meridhakan kepadanya orang yang pernah memurkainya. Allah memperindahnya, memperindah ucapan dan perbuatannya. ”

(HR. Aththabrani)

Ketika populariti ada di tangan, sebenarnya seseorang sedang berada di puncak segala godaan. Persis seperti buruh binaan yang berada di bangunan tinggi. semakin tinggi posisinya, semakin besar tiupan angin. Dan kalau jatuh pun akan jauh lebih sakit.

Di antara godaan itu mengatakan, “Anda ini orang besar. Anda tahu apa yang Anda lakukan. Anda tak mungkin salah.” Pada masa yang sama, kalau godaan itu menusuk ke dalam hati ; maka terjadilah sifati `ujub. Ia merasa kalau dirinya memang besar. Tak ada yang layak mengatur dirinya. Termasuk, mungkin, oleh Allah swt. sendiri.

Itulah yang pernah diucapkan Iblis. “aku lebih baik dari Adam. Aku dari api, dan dia dari tanah! Bagaimana mungkin aku mesti sujud padanya!” Itulah puncak kesalahan dari orang besar. Orang yang terjebak dalam kemahsyurannyaa. Na’udzubillah!

Khalid bin Walid pun akhirnya dipanggil Allah swt. Umar bin Khathab menangis. Bukan karena menyesal telah mengganti Khalid. Tapi, ia sedih karena tidak sempat mengembalikan jawatan Khalid sebelum akhirnya 'Si Pedang Allah' kembali ke sisi Allah swt.

Dakwatuna



KakiBlog